JAMBI - Impartial Mediator Network (IMN) menyebutkan, Provinsi Jambi menjadi provinsi urutan kedua di Indonesia yang terdapat banyak konflik lahan (tenurial) pada sektor kehutanan dan perkebunan.
"Pada tahun 2017 konflik tenurial di Jambi berada pada posisi kedua setelah Riau, dengan jumlah 28 kasus konflik tenurial di Jambi yang mencuat secara nasional," kata Direktur Eksekutif Impartial Mediator Network, Ahmad Zazali di Jambi, Kamis.
Faktor munculnya konflik lahan itu menurutnya, karena ada pemberian izin yang tidak adanya kordinasi dan kurangnya efektifnya kelembagaan dan mekanisme penanganan konflik.
Konflik itu juga bisa muncul karena dari kebijakan itu sendiri, sehingga munculnya konflik baru lebih cepat ketimbang penanganan konflik yang lama, kata dia.
Berdasarkan hasil kajiannya itu, konflik lahan di Jambi lebih didominasi pada konflik masyarakat dengan perusahaan pemegang izin seperti HTI, HPH dan Perkebunan Kelapa Sawit yang memiliki konsesi di daerah itu.
"Dari kasus konflik tenurial yang mencuat di Jambi itu, diantaranya 64,7 persen konflik antara masyarakat dengan pemegang izin," katanya menjelaskan.
Selain itu konflik lahan juga terjadi pada wilayah pedesaan yang terletak pada kawasan lindung. Dari ribuan desa yang berada di Jambi diantaranya 47 persen berada di kawasan lindung, sehingga perlu dorongan agar perhutanan sosial benar terealisasi.
"Kami melihat perhutanan sosial realisasinya masih rendah, dari 12,7 juta hektare target perhutanan sosial realisasinya baru lima persen hingga data Sepetember 2017," kata dia.
Dari 12,7 juta hektare perhutanan sosial itu, Provinsi Jambi ditargetkan seluas 368.253 hektare, namun saat ini realisasinya masih rendah atau baru mencapai sekitar 107 ribu hektare.
"Perhutanan sosial harus direalisasikan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, apalagi untuk di Jambi sendiri ada 47 persen wilayah desa yang berada di wilayah sekitar hutan," katanya menambahkan.