Kamis, 23 Maret 2023

Incung, Naskah Tua Nusantara Menyimpan Simpul Kunci Suwarnadwipa (3)

Minggu, 25 November 2018 | 16:34:52 WIB


Ilustrasi
Ilustrasi / M Ali Surakhman

M. Ali Surakhman

Media Penulisan Aksara Incung

PENULISAN aksara Incung oleh orang Kerinci dimuat dalam karya sastra klasik. Pengertian sastra klasik ialah segala sesuatu yang tertulis, segala rupa tulisan dapat dipandang sebagai produk sastra, bermacam tulisan dalam berbagai bidang ilmu dan warna kehidupan dapat menjadi sasaran studi sastra.

Kajian ini merupakan suatu studi yang memanfaatkan segala dokumen tertulis bagi suatu pembahasan berbagai cabang ilmu, kebudayaan, dan agama. Pengertian sastra yang dipasang dalam cabang ini memberi peluang kepada siapapun untuk memakai segala teks tertulis untuk kepentingan bahan kajian dalam suatu kegiatan ilmu tertentu.

Hasil sastra klasik Kerinci secara tertulis mulai pada zaman Islam awal memakai aksara Incung, dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno Kerinci. Naskah kuno Kerinci yang sampai kepada kita berasal dari abad ke 13 – 19 M berupa benda-benda pusaka atau pedandan.

Ada semacam kepercayaan dikalangan orang Kerinci, bahwa penciptaan aksara dan pelahiran kesusastraan bersumber dari suatu latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan Ketuhanan sebagai suatu keseluruhan. Sehingga kesusastraan orang Kerinci yang ditulis pada media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, kain dan kertas merupakan kesusastraan suci yang dianggap keramat dan sakti. Sampai saat sekarangpun kepercayaan tersebut sulit hilang dalam kehidupan budaya masyarakat Kerinci.

Kalau kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaklah hal yang dapat dibicarakan dalam konteks tersebut. Bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan ilmu pengetahuan adalah hasil-hasil budaya manusia yang harus dipertahankan hidupnya dan diusahakan pengembangannya.

Salah satu aset kebudayaan Kerinci adalah bahasa Kerinci, bahasa ini memiliki perbedaan dengan dialek yang diucapkan oleh daerah sekitar Kerinci seperti Jambi dan Minangkabau.

Kebanyakan bahasa daerah yang dipakai penduduk Sumatera umumnya adalah bahasa Melayu, kedalamnya termasuk juga bahasa Kerinci. Bahasa Kerinci dipergunakan khusus penutur yang ada di kabupaten Kerinci.

Sekalipun bahasa Kerinci berbeda dengan daerah lainnya di Sumatera, namun bahasa daerah ini berpokok kepada bahasa Melayu. Sejak zaman dahulu menjadi bahasa untuk semua kegiatan bagi orang Kerinci. Bahasa ini dipergunakan juga oleh orang Kerinci dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian dan sastra.

Naskah-naskah kuno Kerinci yang kita sebutkan itu merupakan satu perigi dari perigi khasanah sastra Melayu Klasik di Indonesia. Masih terbuka lagi kemungkinan menemukan perigi lain dari peninggalan peradaban Kerinci masa silam. Juga akan menjadi bahan studi menarik, baik dari segi mutu maupun ketinggian nilai sastranya.

Kita melihat beberapa aspek naskah kuno daerah Kerinci, yang kita pandang sebagai dokumen tertulis sastra klasik. Hasil sastra klasik itu tidak lain berupa naskah-naskah, merupakan peninggalan dan hasil karya nenek moyang orang Kerinci masa silam.

Bahasa Kerinci adalah bahagian dari bahasa Melayu, sebagai daerah terpencil mempunyai dialek tersendiri Dialeknya berbeda sekali dengan suku-suku Sumatera lainnya. Namun orang Kerinci mengerti apabila orang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu atau Indonesia umumnya mereka langsung mengerti pembicaraan tersebut. Karakteristik bahasa Kerinci terletak pada dialeknya yang banyak, hal seperti ini tidak ditemui di daerah lainnya Indonesia. Sehingga terdapat dialek yang berbeda sebanyak jumlah desa (dusun asli, masyarakat persekutuan adat) yang ada dalam Kabupaten Kerinci semuanya berjumlah + 177 dialek. Diantara faktor lain yang sangat mempengaruhi majemuknya dialek tersebut, dikarenakan kelompok–kelompok yang membentuk dusun (Kerinci: luhah, nagehi) lebih dominan hubungan genealogis teritorialnya.

Sekalipun dusun itu bertetangga hanya dibatasi oleh jalan atau seberang sungai saja, tetapi ketika saling berkomunikasi mereka sama–sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya. Juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka dalam dialek yang berbeda tersebut.

Mereka merupakan kesatuan dalam sebuah lingkungan budaya Alam Kerinci. Jadi bahasa Kerinci ialah bahasa yang saling dimengerti oleh masyarakat yang menghuni lingkungan Alam Kerinci atau Kabupaten Kerinci.

Melihat bentuk grafis aksara Incung Kerinci hampir mirip dengan aksara daerah Sumatera lainnya seperti Batak, Rejang, dan Lampung. Sekalipun pada bacaan dan penulisannya banyak juga perbedaan yang mendasar.

Kemiripan aksara-aksara daerah itu disebabkan, mereka berasal dari satu lingkungan budaya Sumatera yang sama pada masa dahulunya. Kemudian proses tumbuh dan berkembang, aksara tersebut mengalami corak yang membedakan satu sama lainnya sesuai dengan kondisi dan letak pusat induk kultur masing-masing etnis Sumatera itu.

Satu hal, pada naskah-naskah tulisan Incung itu tidak ditemukan penunjuk angka untuk bilangan. Jadi tulisan Incung hanya mengenal huruf saja dan tidak mempunyai angka bilangan. Mungkin inilah yang menyebabkan pada setiap naskah tidak didapati penanggalan maupun tanggal penulisannya.

Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada puncaknya abad ke – 16, dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerinci penulisan naskah-naskah beralih ke aksara Arab dengan bahasa Melayu. Hasil-hasil sastra Kerinci pengaruh Islam cukup banyak, antara lain cerita tentang Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, dan cerita mistik dan tasauf.

Penulisan sastra Incung juga dipengaruhi oleh Islam seperti adanya dalam naskah-naskah kuno Kerinci aksara Incung, seperti pada kata pengantar : basamilah mujur dan assalamualikun. Ini menunjuk bahwa orang Kerinci saat peralihan masuknya aksara Arab atau Islam, tidak menjadikan hilangnya aksara Incung dari kehidupan mayarakat Kerinci. Tetapi memperkaya karya sastra Incung dengan nuansa Islam, yang mana mereka menulis naskah-naskah Incung dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam. (*/selesai)

Note : mengcopy dan merujuk  artikel mesti mencantumkan sumber.


Penulis: M Ali Surakhman
Editor: Ikbal Ferdiyal



comments