BERDASARKAN data terkini, perkembangan ketimpangan ekonomi masyarakat Provinsi Jambi cenderung stagnan. Hal tersebut diindikasikan oleh nilai rasio gini yang tidak banyak mengalami perubahan dalam dua tahun terakhir.
Dalam rilisnya pada selasa 15 Januari 2019, Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi mencatat bahwa pada periode September 2018 rasio gini sebesar 0,335 atau meningkat 0,001 poin dibandingkan dengan periode Maret 2018.
Dengan demikian, dalam dua tahun terakhir nilai rasio gini hanya bergerak antara 0,334 sampai dengan 0,335 atau bisa dikatakan tidak banyak mengalami pergerakan yang signifikan.
Sebagai informasi, rasio gini adalah salah satu indikator untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna.
Sebaliknya, rasio gini yang bernilai 1 mengindikasikan adanya pemerataan pendapatan yang tidak sempurna, atau dengan kata lain terjadi ketimpangan sempurna.
Kontradiksi Ketimpangan antara Kota dan Desa
Meskipun dalam perkembangannya rasio gini tidak banyak perubahan, namun apabila dilihat menurut wilayah tempat tinggal, diketahui bahwa ketimpangan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan cenderung menurun, sedangkan di daerah perdesaan cenderung mengalami peningkatan.
Penurunan rasio gini di perkotaan bisa dikatakan suatu prestasi pemerintah, karena selama ini ketimpangan di perkotaan selalu menjadi yang tertinggi dibanding di perdesaan, bahkan pernah menyentuh angka 0,403 pada September 2016, namun setelah itu perlahan menurun hingga mencapai 0,351 pada September 2018.
Hanya saja, pemerintahan masih mempunyai pekerjaan rumah yang cukup besar. Pasalnya,sejak September 2016, rasio gini di perdesaan terus merangkak naik hingga menyentuh angka 0,308 pada Maret 2018, meskipun pada akhirnya kembali menurun menjadi 0,295 pada September 2018.
Kondisi inilah yang sebenarnya menyebabkan ketimpangan pengeluaran masyarakat Provinsi Jambi cenderung stagnan pada dua tahun terakhir. Kondisi dimana satu sisi di perkotaan terjadi kecenderungan penurunan ketimpangan, namun disisi lain di perdesaan terjadi kecenderungan kenaikan ketimpangan.
Pertumbuhan Pengeluaran
Stagnannya angka rasio gini tidak terlepas dari pertumbuhan pengeluaran. Apabila mengikuti pembagian pengeluaran kelompok masyarakat berdasarkan kriteria Bank Dunia (World Bank), dimana masyarakat dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yaitu penduduk kelompok 40 persen terbawah, kelompok 40 persen menengah, dan 20 persen teratas. Diketahui bahwa tingkat pengeluaran Kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah lebih lambat dari kelompok 20 persen teratas. Masing-masing berturut-turut sebesar 2,09 persen, 1,16 persen, dan 2,67 persen.
Berbeda halnya dengan di Perkotaan, menurunnya rasio gini disebabkan karena kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan pada kelompok kelas bawah dan menengah yang sangat signifikan apabila dibandingkan dengan kelompok penduduk kelas atas. Dimana rata-rata pengeluaran per kapita/bulan kelas bawah dan menengah naik sebesar 5,16 persen dan 12,55 persen dibandingkan kelas atas yang hanya tumbuh sebesar 3,97 persen.
Sedangkan penyebab rasio gini di perdesaan turun pada September 2018 adalah akibat kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah yang lebih cepat dibandingkan penduduk kelompok 40 persen menengah dan 20 persen teratas.
Untuk detilnya, kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita Maret 2018-September 2018 di perdesaan untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 1,80 persen, -1,65 persen, dan -4,12 persen.
Proporsi Pengeluaran
Ketimpangan muncul akibat tidak meratanya sebaran pengeluaran antar kelompok penduduk. Masyarakat yang masuk kedalam kelompok 40 persen terbawah ternyata hanya mengkonsumsi 20,15 persen dari total pengeluaran atau konsumsi masyarakat Provinsi Jambi, jumlah penduduk yang sangat banyak pada kelompok ini tidak lantas membuat andil konsumsi yang besar juga.
Bandingkan dengan kelompok 20 persen teratas, meskipun secara jumlah penduduk pada kelompok ini lebih sedikit, namun mereka menguasi 41,87 persen pengeluaran atau konsumsi masyarakat Provinsi Jambi. Perbandingan ini jelas menandakan terjadinya ketimpangan antar kelompok masyarakat.
Penguasaan konsumsi atau pengeluaran mempunyai pola yang berbeda antara di Perkotaan dan Perdesaan. Untuk di Perkotaan, masyarakat kelompok 20 persen teratas menguasi konsumsi atau pengeluaran, dimana proporsinya mencapai 41,85 persen. Sedangkan di Perdesaan, konsumsi dikuasi oleh kelompok 40 persen menengah dengan andil pengeluaran sebanyak 39,34 persen.
Mengatasi Ketimpangan
Ketimpangan dapat diatasi dengan cara meningkatkan pendapatan penduduk kelas bawah. Dengan meningkatnya pendapatan diharapkan pengeluaran penduduk kelas bawah juga mengalami peningkatan.
Namun demikian, peningkatan pendapatan saja tidak akan cukup mengurangi ketimpangan, jika pertumbuhan pendapatan penduduk kelas bawah tersebut ternyata lebih lambat dari pertumbuhan pendapatan kelompok kelas atas.
Kenaikan pendapatan bisa terjadi jika memiliki pekerjaan yang layak. Salah satu syarat untuk memperoleh pekerjaan layak yaitu dengan meningkatkan keterampilan dan keahlian pekerja tersebut, sehingga dapat bersaing dengan pekerja terampil yang banyak berada pada kelompok kelas atas.
Disamping itu, mengatasi ketimpangan juga sebaiknya berbasis kewilayahan. Karena ketimpangan di wilayah perkotaan dan perdesaan berbeda karakteristiknya, sehingga sudah sewajarnya mendapatkan kebijakan yang berbeda juga.
Kebijakan tersebut bisa dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru di Desa. Dengan adanya Dana Desa diharapkan bukan hanya untuk infrastruktur, namun bisa membuat lapangan kerja baru yang sifatnya berkelanjutan, memberdayakan, dan akses terhadap pendapatan khususnya untuk masyarakat berada pada kelas terbawah.
*) Penulis adalah statistisi BPS Provinsi Jambi