M. Ali Surakhman
DAERAH yang terkait dengan hubungan aksara Incung Kerinci adalah Lampung dan Rejang. Seperti di Lampung, masyarakat di sana menyebut aksara daerahnya sebagai "Surat Ulu" atau sebutan lainnya "Palembang Ulu".
Di daerah Sumatera Selatan yang memakai bahasa Melayu, mengatakan bahasa yang terpakai pada Surat Ulu tadi bukanlah bahasa Melayu, tetapi mereka mengatakan bahasa orang dahulu, bahasa kuno.
Kata Surat Ulu, yaitu surat orang zaman dahulu, banyak dibantah oleh pakar filologi. Menurut mereka yang benar Surat Ulu, yaitu surat Hulu atau surat orang pedalaman. Karena surat-surat dengan aksara itu hanya terpakai di pedalaman saja, sedangkan pedalaman yang memiliki peradaban tulis baca pada zamannya adalah daerah Kerinci.
Daerah Kerinci berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologi, dalam sejarah kebudayaan Nusantara merupakan daerah yang sangat tua (di Kerinci ditemui keramik dari Dinasti Han 300 SM).
Untuk mengungkap historis pemakaian aksara Incung yang terdapat pada naskah-naskah kuno Kerinci. Ada petunjuk dari beberapa naskah dengan pendahuluan kata-kata berbunyi:
-Basamilah mujur batuwah jari tangan aku mangarang surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Depati Satio Mandaro di Desa Dusun Dilir Rawang)
- Ah basamilah akung mangarang parapatah surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Rajo Sulah Desa Siulak Mukai).
Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan surat incung jawa palimbang maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut.
Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai jawa palimbang. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya Kedatuan Sriwijaya.
Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan surat incung jawa palimbang maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut.
Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai jawa palimbang. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya Kedatuan Sriwijaya.
Hal ini dijelaskan oleh prasasti Kota Kapur Bangka (686 M) yang menyebutkan penghancuran bhumi jawa yang tidak bakti (tunduk) kepada Sriwijaya, antara lain bunyinya "..ni pahat di welanya yang wala srivijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ke srivijaya”.
Bhumi Jawa tersebut adalah sebuah kerajaan di Lampung, yaitu Tulang Bawang yang memiliki kekuatan menyaingi Sriwijaya. Sedangkan palimbang yang dimaksud dalam tulisan Incung Kerinci, juga bukan berarti kota Palembang, tetapi adalah komunitas orang dengan kebudayaannya di Sumatera Selatan, karena aksara Incung tidak terdapat di Palembang.
Jadi aksara yang terdapat dalam naskah kuno Kerinci, zaman dahulunya pemakaiannya sampai ke Rejang dan Lampung. Dalam naskah kuno Incung juga disebut nama kota-kota tua yang ada di daerah Selatan, sekalipun saat sekarang kota atau tempat tersebut tidak lagi memakai nama seperti dalam naskah Incung.
Kerinci sebagai daerah hulu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dan orang Kerinci menyebut Jambi dan Palembang sebagai daerah rantau transit perdagangan ke selat Malaka. Selama ratusan tahun hubungan orang Kerinci ke Selatan dengan melewati jalur tradisional Merangin dan Gunung Sumbing, untuk perdagangan sekaligus kontak budaya dengan masyakarat bahagian Selatan.
Dari hubungan antara segala macam fenomena simbolik dengan realitas kehidupan masyarakat Kerinci dahulunya dengan orang-orang Melayu Sumatera, dapat diproyeksikan keberadaan aksara Incung sudah dipergunakan secara luas pada abad ke 14 M.
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan karya aksara Incung pengaruh Hindu. Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing pertama dan lama di Nusantara ini. Kenyataan terdapatnya kata-kata Hindu dalam naskah kuno Kerinci aksara Incung seperti kata Batara, Dewa, dan sebagainya.
Dalam pada itu, setelah agama Islam sampai ke Nusantara ini, beberapa suku bangsa yang disebut sebagai rumpun Melayu itu kemudian berkembang dengan ciri-ciri agama, bahasa, dan budayanya masing-masing.
Dalam perkembangan yang terjadi melalui jalan sejarah yang panjang itu kita akhirnya dapat melihat bahwa orang-orang atau penduduk yang mendiami Sumatera, khususnya wilayah Kerinci memperlihatkan ciri dengan suatu warna budaya yang amat banyak diwarnai oleh agama mereka, yaitu Islam.
Penduduk daerah ini beragama Islam, berbahasa Melayu Kerinci, serta mempunyai berbagai kesamaan pula dalam adat dan tradisi dengan daerah sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi.
Begitupun dengan aksara daerah yang dimiliki orang Kerinci disebut aksara Incung, menghasil karya-karya tulis bermutu tinggi sekalipun mereka telah melupakannya. Sejak abad ke-19 naskah-naskah aksara Incung telah dijadikan benda keramat oleh rakyat Kerinci, sedangkan orang-orang yang ahli dan dapat menulis dan membaca tulisan ini sudah tiada lagi.(*/bersambung)
Note: mengcopy dan merujuk artikel mesti mencantumkan sumber.