Fauzen Rizki Yulianto *)
PROVINSI Jambi merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang pernah diduduki penjajah Belanda dan jepang sebelum kemerdekaan, serta menjadi wilayah serangan agresi militer kedua di Indonesia pada tahun 1949.
Bukti sejarah bahwa Belanda dan Jepang pernah menduduki Provinsi Jambi terdapat di berbagai wilayah Provinsi Jambi. Salah satunya di Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari.
Disana ada salah satu monumen tugu kedaulatan yang dibangun untuk memperingati penyerahan kedaulatan oleh Belanda untuk Provinsi Jambi yang pada saat itu langsung dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia yaitu Mohd Hatta sedangkan Jambi diwakili oleh Letnan Kolonel Abundjani.
Jauh sebelum masa kemerdekaan, Muara Tembesi sudah memiliki sejarah kejayaan di masa lalu karena pernah menjadi pusat kerajaan Melayu Kuno dan Muara Tembesi memiliki letak yang strategis berada di pertemuan 3 arus sungai yang sangat berperan penting bagi sektor ekonomi perdagangan pada saat itu.
Dengan letak yang strategis kemudian Muara Tembesi menjadi basis pertahanan pada masa penjajahan.
Dahulu Raja Melayu berasal dari Malaysia tinggal di benteng dan memiliki dibalang atau menteri-menteri dan asal nama Tembesi itu berawal dari perintah seorang raja yang menyuruh ke seorang dibalang atau menterinya untuk mengambil air sungai satu gelas. Setelah itu ditimbang lalu setelah air Batang Sarolangun itu ditimbang ternyata memiliki berat satu besi.
Oleh karena itu dinamakan Muara Tembesi karena air yang ditimbang tadi memiliki berat satu besi yang tidak tahu berapa berat dalam satu besi pada masa itu.
Dengan demikian asal nama Muara Tembesi itu berasal dari perintah raja kepada seorang dibalang.
Lalu kenapa Batang Tebo itu dinamakan Batanghari karena setiap tengah hari terdapat batang pohon yang hanyut karena pada masa itu orang bekerja menebang pohon lalu dibuang ke laut sehingga batang pohon hanyut oleh karena itulah dinamakan Batanghari.
Kecamatan Muara Tembesi pada zaman penjajahan merupakan pusat pemerintahan pada Zaman Belanda yang disebut konselit. Setelah kemerdekaan dipimpin oleh wedana yang memimpin delapan kecamatan.
Sampai saat ini kantor kewedanan masih berdiri kokoh dengan bentuk kolaborasi arsitektur rumah tradisional panggung Jambi dan arsitektur bangunan Rumah Belanda.
Pada saat itu kewedanan membawahi delapan kecamatan dengan daerah yang cukup luas dan pada masa itu terdapat kejaksaan, kepolisian pada zaman dahulu disebut dandis. Saat ini dandis setingkat dengan polres karena dandis sudah tidak ada lagi di masa sekarang.
Kantor wedana merupakan saksi bisu sejarah penyerahan kedaulatan kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh tentara Belanda untuk wilayah Jambi pada tahun 1949, dan Pemerintah jambi langsung di wakili oleh Letnan Kolonel Abundjani.
Untuk memperingati peristiwa sejarah penyerahan kedaulatan dibangunlah tugu kedaulatan yang berupa tiga monumen berupa bambu runcing yang sampai saat ini masih berdiri kokoh di tengah-tengah Pasar Muara Tembesi.
Selain dari peristiwa tugu kedaulatan yang berupa bambu runcing disana terdapat rumah singgah untuk Mohd Hatta atau yang lebih dikenal dengan Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang sampai saat ini masih berdiri kokoh walau sudah termakan oleh zaman.
Sementara kondisi rumah wedana saat ini sudah dilakukan renovasi sehingga tidak lagi menunjukkan bentuk aslinya. Namun masih ada sisa-sisa tiang-tiang dari rumah dan kawasan rumah wedana yang saat ini digunakan menjadi kantor Kelurahan Pasar Muara Tembesi.
Tak jauh dari kantor kewedanaan terdapat penjara pada zaman dahulu yang disebut panis. Terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan jeruji besi. Bentuk bangunan penjara jika dilihat dari depan masih terlihat masih utuh dan terawat karena bangunan itu saat ini ditempati oleh warga setempat.
Sementara untuk bagian belakang sangat miris sekali keadaannya. Dalam kondisi rusak dan tidak bisa lagi digunakan karena sebagian besar kayu yang menjadi dinding dan lantai telah lapuk serta atap rumah pun rusak termakan oleh zaman dan tidak adanya perwatan atau renovasi terhadap penjara tersebut.
Pada masa itu penjara itu digunakan untuk benar-benar menghukum bagi orang yang melanggar aturan yang telah dibuat pada saat itu. Selain itu terdapat kantor kejaksaan yang dulu berdiri di Pasar Muara Tembesi namun saat ini telah dibangun menjadi ruko-ruko oleh warga untuk berjualan. Di samping itu untuk pertahanan punya tempat khusus yang dinamakan Benteng oleh masyarakat setempat .
Pada saat itu benteng tersebut digunakan sebagai markas persenjataan pada Zaman Belanda dan menjadi tempat pengintaian terhadap kapal- kapal yang lewat di aliran Sungai Batanghari karena pada saat itu transportasi yang masih digunakan ialah jalur sungai karena tempat yang strategis berada di tepi aliran sungai dan berada tepat di pertemuan tiga arus sungai. Sehingga memudahkan pengintaian dan penyerangan terhadap kapal-kapal yang memasuki kawasan tersebut.
Keadaan benteng saat ini sangat memprihatinkan dengan kondisi sisa-sisa bangunan beton usang yang tak ada lagi atap dan di sekitarannya ditumbuhi pohon-pohon liar yang berada di setiap ruangannya. Sebab itulah benteng tersebut dikosongkan.
Namun sebagian bangunan yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1901 masih digunakan oleh warga setempat. Pada masa itu juga Belanda melakukan penanaman kayu-kayu tembesi di sekitaran Muara Tembesi sekitar tahun 1901.
Belanda memasuki kawasan Muara Tembesi sesudah perang tahun 16 ketika mereka datang kevwilayah ini belum ada bangunan-bangunan yang berdiri sehingga akhirnya Belanda membangun benteng-benteng yang sampai saat ini masih berdiri walau sebagian dari bangunan itu telah rusak dan usang tidak terawat.
Sesudah itu karena rumah-rumah pada saat itu akhirnya Belanda membangun rumah-rumah konteler, asisten demang, panis, rumah margo, rumah bekwe setelah perang tahun 16 sesudah Belanda menduduki barulah dibangun kantor-kantor di Muara Tembesi pada masa itu.
Di kawasan benteng terdapat bangunan atau rumah-rumah kompleks bercorak bangunan Belanda yang digunakan untuk prajurit-prajurit pada zaman kolonial Belanda. Kemudian setelah Indonesia merdeka bangunan atau kompleks perumahan tersebut digunakan sebagai markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan saat ini lokasi perumahan tersebut di bawah pengawasan TNI. Namun sebagian rumah saat ini ditempati oleh warga dengan kondisi yang tak berbeda seperti bangunan lainnya. Tidak terawat dan banyak yang rusak di berbagai tempat.
Dekat dengan monumen tugu kedaulatan terdapat bangunan bioskop yang pertama kalinya ada di Kabupaten Batanghari. Keberadaan bioskop ini menunjukkan betapa majunya dan berkembangnya Pasar Muara Tembesi pada masa itu.
Saat ini bangunan tersebut masih berdiri kokoh di tengah-tengah Pasar Muara Tembesi namun tidak difungsikan lagi. Hanya digunakan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan bila ada tamu dari luar yang datang ke Muara Tembesi.
Selain itu sejarah di Muara Tembesi. Tidak hanya berupa bangunan saja terdapat makam prajurit Belanda yang ada di simpang jalan awal masuk kawasan Pasar Muara Tembesi yang sama seperti bangunan yang lainnya tidak terawat dan banyak yang rusak karena kurangnya kesadaran untuk menjaga sejarah yang pernah ada di Provinsi Jambi, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari.
Sebenernya masih banyak lagi bangunan-bangunan sejarah yang ada di Pasar Muara Tembesi. Namun pada masa puluhan tahun lalu terjadi kebakaran hebat yang membakar dan menghabisi bangunan-bangunan lama yang pada masa itu Pasar Muara Tembesi menjadi salah pusat perdagangan terbesar di daerah Kabupaten Batanghari. Sehingga bekas bangunan yang terbakar tadi tidak bisa dibangun lagi karena jika dibangun lagi tidak akan bertahan lama pasti suatu waktu akan runtuh kembali.
Setelah kebakaran itu jalan yang ada disana telah berubah menjadi bentuk kotak dan berbagai simpang. Selain itu permasalahan yang ada saat ini adalah terjadinya longsor dan teracam hilang akibat abrasi air sungai dari Sungai Batanghari yang membuat sebagian dari daratan pemukiman longsor yang saat ini telah mendekati sebagian rumah warga di Pasar Muara Tembesi.
Dahulu Pasar Tembesi merupakan salah satu jalan lintas. Karena tidak adanya turap atau tebing penahan akibatnya jalan tersebut runtuh akibat derasnya aliran sungai dan berada di belokan air menyebabkan abrasi sungai batanghari setiap tahunnya, karena turap yang pernah dibangun sekitar sepuluh tahun lalu tidak kuat menahannya.
Dengan demikian masyarakat Muara Tembesi mengharapkan pemerintah segera menanggulanggi dan membangun turap di pinggir sungai Batanghari agar sejarah yang ada disana tidak hilang dan akibat longsor. Dan masyarakat pun juga merasa tenang jika pemerintah membangun turap di pinggir bantaran Batanghari karena rumah mereka tidak terkena longsor akibat abrasi dari sungai Batanghari.
*) Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Wakil Ketua Hima Ilmu Sejarah
Support by: Hima Humanis Ilmu Sejarah, Lentera Sejarah (Lensa), Mahasiswa/I ilmu sejarah, pembina: Irhas Fansuri Mursal, S.Pd., M. HUM. Abdurrahman, S.Pd., M.A.