Kamis, 30 Maret 2023

Kantor Pengacara Negara Menjawab Tantangan Pemulihan Ekonomi Nasional

Sabtu, 19 Desember 2020 | 10:09:31 WIB


Kamin
Kamin / ist

Oleh : Kamin, SH, MH

Sebagai lembaga penegak hukum Kejaksaan memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengendalikan perbuatan anti sosial dalam masyarakat, khususnya dalam penegakan hukum atas pelanggaran dan perbuatan pidana yang terjadi di masyarakat. Herbert L. Packer sebagaimana dikutip Ketut Gde Widjaja mengatakan : 1 “... a social problem that has a important legal dimension, the problem of trying to control anti social behavior by imposing punishment on people found quilty of violating rules of conduct called criminal states...”.

Namun penegakan hukum dalam arti enforcement semata tidak mungkin berlangsung efektif dan berkesinambungan, melainkan harus diimbangi upaya prevention yang efektif, tepat sasaran dan berkelanjutan. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang mengandung normanorma hukum pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum, karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus ditaati. Hukum dapat berperan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.

Merujuk pada pasal 30 ayat (2) No. 16 Tahun 2004 bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan selaku Kantor Pengacara Negara memiliki kewenangan untuk melakukan enforcement sekaligus prevention bahkan penyelamatan ast negara dan kepentingan masyarakat. Fungsi tersebut ada karena keperluan nyata bagi pemerintah, disamping kegiatan yang bersifat publik tidak sedikit pula kegiatan keperdataan yang dilakukan oleh pemerintah sehingga untuk kegiatan ini pemerintah sebagai badan hukum memerlukan wakil sebagai kuasanya dan Kejaksaan ditunjuk mewakili kepentingan pemerintah.

Dengan kemampuan menjalankan fungsi dalam penanganan perkara pidana dan perdata selaku alat / kuasa negara, melakukan penegakan hukum baik enforcement maupun prevention, apabila dapat dijalankan secara profesional, obyektif dengan kualitas yang optimal didukung sarana teknologi informasi, maka Kejaksaan akan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan, turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

Terminologi Jaksa Pengacara Negara hanyalah terminologi yang digunakan untuk memudahkan mengingat pelaksanaan fungsi jaksa di bidang perdata dan tata usaha negara, tidak dalam pengertian Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-Undang dimaksud juga tidak dapat diberlakukan bagi pelaksanaan peran jaksa selaku Pengacara Negara yang memiliki dasar wewenang bertindak yang berbeda. Kewenangan Kejaksaan menangani perkara perdata dengan dasar hukum dan pelaksanaannya yang telah ada sejak perundang-undangan Hindia Belanda, yaitu Staatsblaad 1922 Nomor 522 dan peraturan perundang-undangan yang tersebar dalam BW, Ordonansi Catatan Sipil dan Ordonansi Kepailitan. Fungsi jaksa pengacara negara adalah hanya sebagai pihak yang mewakili negara untuk menjaga kepentingan, harkat, dan martabat negara dengan tetap memperhatikan kepentingan keperdataan masyarakat.

Untuk mampu menjalankan kewenangan dan peran Kejaksaan dalam bidang hukum perdata dan hukum tata usaha negara, maka Jaksa yang bersangkutan haruslah memiliki komepetensi khusus di bidang hukum perdata dan hukum tata negara. Artinya bahwa Jaksa yang bertindak sebagai pengacara negara tidak boleh asal tunjuk begitu saja, ia harus dibekali dengan pendidikan hukum perdata dan hukum tata negara. Dalam bidang hukum perdata misalnya, Jaksa yang bertindak sebagai pengacara negara harus orang-orang yang paham mengenai hukum perdata dan atau hukum tata negara/hukum administrasi negara, menguasai mengenai hukum perdata materil yang ruang lingkupnya sangat luas dan teknik strategi dalam hukum perdata formil.

1. Bagaimanakan Strategis Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara menjawab tantangan masa depan.

Tugas dan peran Jaksa Pengacara Negara di bidang Perdata dan Tata Usaha sangat luas, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 040/J.A/12/2010 tanggal 12 Desember 2010 yang antara lain yaitu :

1. Bantuan Hukum, yaitu mewakili negara, intansi pemerintah (baik pusat maupun di daerah), BUMN, BUMD berdasarkan Surat Kuasa Khusus (SKK), baik sebagai penggugat maupun tergugat.

2. Pertimbangan Hukum, yaitu memberikan pendapat hukum (legal opinion) dan/atau pendampingan (legal assistance) di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara atas dasar permintaan dari lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD, yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Perintah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari).

3. Pelayanan Hukum, yaitu Tugas Jaksa Pengacara Negara untuk memberikan penjelasan tentang masalah hukum Perdata dan Tata Usaha Negara kepada anggota masyarakat yang meminta.

4. Penegakan Hukum, yaitu tugas Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan di bidang Perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban umum, kepastian hukum dan melindungi kepentingan Negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat, antara lain :
-  Pemulihan kerugian negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
- Pengajuan pembatalan perkawinan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
? Permohonan perwalian anak di bawah umur sesuai dengan Pasal 360 BW; - Permohonan Pembubaran PT sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
- Permohonan Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
- Gugatan Uang pengganti menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi;
- Permohonan untuk pemeriksaan Yayasan atau membubarkan suatu Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan;
- Permohonan Jabatan Notaris sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris;
- Pelaporan Notaris yang melanggar hukum dan keluhuran martabat notaris sebagaiana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

5. Tindakan hukum lain, yaitu tugas Jaksa Pengacara Negara untuk bertindak sebagai mediator atau fasilitator dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan antar instansi pemerintah/pemerintah daerah, BUMN di bidang perdata dan tata usaha Negara. Hal ini merupakan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha Negara dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara atau didalam rangka memulihkan dan melindungi kepentingan masyarakat maupun kewibawaan pemerintah. Tindakan hukum lain ini merupakan tindakan yang tidak termasuk dalam penegakan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum, dan pertimbangan hukum.

Dalam menyusun strategi penguatan penegakan hukum, salah satunya dapat mempertimbangkan pendapat Lawrence M. Friedman, yang menyampaikan bahwa sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat “aktifitas” dalam kehidupan berhukum. Penegakan Hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.

Jika dikaitkan dengan teori Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengegakan hukum, maka faktor yang mempengaruhi fungsi jaksa sebagai pengacara negara dalam lingkup perdata dan tata usaha negara adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni peraturan perundang-undangan.
Faktor ini menjadi faktor utama dalam menunjang lahirnya penegakan hukum. Jaksa bertindak sebagai pengacara negara berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih teknis mengaturnya. Namun demikian, perundang-undangan belum mengatur secara rinci jaksa yang seperti apa yang dapat menjadi pengacara negara. Untuk itu, maka diperlukan untuk mengkonkritkan kompetensi apa yang harus dimiliki seorang jaksa yang dapat bertindak mewakili kepentingan negara. Perlu diatur lebih rinci dalam peraturan perundang-undangan mengenai jaksa yang dapat diangkat menjadi pengacara negara.

2. Faktor penegak hukum.
Penegak hukum yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang dalam konteks ini adalah Jaksa. Integritas Jaksa itu sendiri sangat mempengauhi pelaksanaan fungsinya sebagai pengacara negara. Jaksa sebagai pengacara negara harus dapat memainkan perannya sebagai pihak yang mewakili negara untuk membela kepentingan negara, utamanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan negara dan melindungi hak keperdataan masyarakat. Artinya di samping melindungi kepentingan negara, Jaksa juga harus tetap memperhatikan hak-hak keperdataan masyarakat. Untuk itu, Jaksa tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dapat menvcederai wibawa institusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengacara negara.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan lain sebagainya. Bila hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, Jaksa Pengacara Negara haruslah orang-orang yang telah dibekali pendidikan dan keterampilan di bidang hukum perdata dan hukum administrasi negara/hukum tata negara, baik materil maupun formil. Di samping itu, Jaksa Pengacara Negara juga perlu didukung oleh anggaran yang memadai sebagai pendukung pelaksanaan fungsinya sehingga pelaksanaan fungsi sebagai pengacara negara dapat dijalankan secara optimal.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Hal yang paling mempengaruhi dalam konteks ini 5 adalah opini yang berkembang di masyarakat, apalagi di era modernisasi sekarang ini dimana berita atas suatu kejdian tertentu dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial. Untuk itu, masyarakat juga harus pandai-pandai dalam menyampaikan opini sehingga berita yang berkembang adalah berita yang benar. Opini yang berkembang dimasyarakat sangat mempengaruhi pelaksanaan fungsi Jaksa sebagai pengacara negara sebab Jaksa di samping mewakili kepentingan negara, juga harus memperhatikan hak-hak keperdataan masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dinilai baik dan apa yang dinilai tidak baik. Dapat dikatakan bahwa faktor ini merupakan faktor intrinsik pada penegak hukum dan masyarakat sekaligus. Dalam konteks pelaksanaan Jaksa sebagai pengacara negara, faktor budaya hukum juga turut mempengaruhi pelaksanaan fungsinya sebab budaya inilah yang menjadi kebiasaan-kebiasaan yang diikuti oleh penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Merupakan kebutuhan mendesak bagi kepentingan pemerintah, masyarakat maupun institusi Kejaksaan, sehubungan dengan meningkatnya kompleksitas peran dan permasalahan yang ditangani, diperlukan adanya strategi optimalisasi peran dan operasional Kantor Pengacara Negara di seluruh Indonesia sebagai Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), yakni meliputi 3 faktor utama meliputi :
1. Faktor sumber daya manusia yang memerlukan Spesialisasi keahlian bagi Jaksa Pengacara Negara (JPN),
2. Faktor sistim operasional yang efektif untuk mendukung optimalisasi kinerja agar dapat berlangsung efektif, akuntabel dan terukur, dan
3. Faktor budaya kerja profesional yang berorientasi pada kualitas hasil pelaksanaan tugas JPN.

Serta faktor pendukung lain, yaitu :
1. Terselenggaranya berbagai Diklat khusus bagi JPN, baik Diklat Spesialis JPN maupun Diklat Khusus : Legal Drafting, Kontrak Internasional (meliputi 3 kelompok yakni : Oil and Gas, Construction dan Energy) bagi JPN dalam Satgas khusus tertentu;

2. Dalam rangka penguatan keahlian JPN dan profesionalitas kinerja Datun, diperlukan jenjang karir khusus bagi JPN agar seluruh unit Datun pada seluruh satuan kerja dapat diisi oleh JPN, tanpa meniadakan kesempatan pembinaan leadership sebagai Kajari dan Kajati;

3. Sistim operasional Datun yang efektif sesuai dengan kebutuhan masa depan (Case Management System), berikut database pendukung yang dapat diakses oleh para JPN seluruh Indonesia dalam penyelesaian perkara yang sedang ditangani, sehingga dapat diharapkan standarisasi kualitas dan kendali operasional;

4. Mekanisme kerja Supervisi Teknis oleh Jamdatun terhadap penyelesaian perkara dan permasalahan yang dihadapi JPN Daerah, serta pelaksanaan eksaminasi berkala ataupun insidentil melalui uji petik (sampling) untuk kepentingan pembinaan teknis sekaligus pencegahan penyimpangan;

5. Kepercayaan Stake-holder melalui upaya komunikasi, integritas dan prosesionalisme JPN, merupakan faktor pendukung dominan yang sangat berpengaruh bagi kerjasama dan pengembangan peran Kantor Pengacara Negara di masa mendatang;

6. Dukungan anggaran operasional baik berasal dari DIPA Datun maupun hibah pengembangan sistem ataupun pelatihan JPN, harus dikelola dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Kegagalan pengelolaan keuangan akan menjadi bagian masalah yang dapat kontraproduktif bagi pencapaian sasaran organisasi Kantor Pengacara Negara.
Strategi kelembagaan penguatan peran, operasional dan nama baik Kantor Pengacara Negara yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, diharapkan akan dapat menjadi salah satu pilar terbangunnya kepercayaan publik terhadap profesinalisme institusi Kejaksaan.

Dalam rangka mengelola perencanaan, penetapan skala prioritas agar tepat sasaran, strategi Kantor Pengacara Negara dapat disusun menggunakan balanced score card theory yang dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Aspek stake-holder, berupa penetapan faktor-faktor prioritas dalam pencapaian sasaran organisasi, meliputi faktor-faktor utama bagi terbangunnya Kantor Pengacara Negara yang berkualitas, berwibawa dan terpercaya adalah sebagai berikut :

- Bantuan Hukum Optimal Berkualitas, yaitu bantuan hukum yang dilaksanakan oleh JPN, baik di peradilan perdata, TUN mapun Mahkamah Konstitusi, baik dalam penyelesaian sengketa maupun uji Materiil, di seluruh Indonesia sudah harus dapat dipastikan dilaksanakan optimal dan kualitas terbaik. Jaminan ini tidak dapat ditoleransi lagi, mengingat pembentukan dan pengalaman Jamdatun yang sudah didirikan cukup lama.

- Legitimasi Legal Opinion JPN, yaitu Pendapat Hukum (Legal Opinion) yang dibuat oleh JPN harus obyektif, akurat dari aspek legal nya, lengkap berisi antisipasi resiko hukum baik perdata, Good Corporate Governance (Administratif) maupun pidana, sehingga dipastikan dapat mencegah potensi kerugian keuangan negara dan sifat melawan hukum (pidana maupun perdata).

- Pendampingan Hukum aman dan efektif, yaitu kegiatan pendampingan hukum terbatas hanya meliputi konsultasi hukum aspek Keperdataan, yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional, tanpa benturan kepentingan serta intervensi tugas wewenang pejabat/instansi yang didampingi. Pendampingan Hukum selayaknya mempedomani pedoman dan petunjuk yang sudah diberikan oleh Jamdatun agar dapat mensosialisasikan dan mengantisipasi potensi resiko hukum pidana, perdata maupun administratif bagi pejabat/unit kerja yang didampingi. Prioritas pendampingan hukum adalah aman bagi pejabat yang didampingi dan aman bagi citra institusi Kejaksaan maupun JPN yang ditugaskan.

- Audit Hukum berkualitas, yaitu audit hukum yang dibuat oleh JPN harus obyektif, akurat dari aspek legal nya, baik perdata, Good Corporate Governance (Administratif) maupun indikasi fraud (pidana).

- JPN Narasumber Legal Drafting bagi Pemerintah Daerah, dimana JPN Daerah membantu kualitas Legal Drafting di Pemerintah Daerah setempat, dengan mempedomani pedoman dan petunjuk dari Jamdatun.

- Penegakan Hukum dan Tindakan Hukum JPN optimal, yaitu JPN dapat melaksanakan penegakan hukum atas kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, 33 dan 34 UU Nomor 31/1999 serta pasal 38B ayat (2) dan pasal 38C UU Nomor 20 Tahun 2001, perkara TPK yang diputuskan ‘lepas dari tuntutan hukum’, penyelesaian tunggakan eksekusi pembayaran uang pengganti, maupun penegakan hukum perdata yang lain termasuk pembubaran PT yang (telah atau dikhawatirkan) digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. Begitu pula seluruh Tindakan Hukum oleh JPN dapat dilakukan secara optimal, termasuk dengan didahului oleh pelacakan aset sebelum dilakukannya negosiasi, penagihan kewajiban kepada negara dan lain-lain.

- Adhyaksa Mediation Centre terpercaya, sebagai upaya penyelesaian sengketa Mediasi yang obyektif dalam menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa antara swasta dengan BUMN maupun antara swasta dengan swasta, mengingat sebagian besar pihak menghindari sengketa di arbitrase maupun pengadilan namun memerlukan lembaga independen yang terpercaya.

- JPN Menangani Seluruh Arbitrase Internasional, merupakan salah satu sasaran Kantor Pengacara Negara dengan Tim JPN yang khusus untuk menangani sengketa Arbitrase Internasional. Kepercayaan atas keahlian 8 penanganan arbitrase internasional oleh Tim Khusus JPN adalah yang terbaik harus dibangun, mengingat selama ini sebagian besar BUMN / Pemerintah menyerahkan kepada pengacara swasta yang sangat mahal. Tim Khusus JPN harus membangun jaringan komunikasi intensif dengan Lembaga Arbitrase Internasional dan para Arbiter sesuai dengan keahliannya.

- Pendampingan Setiap Kontrak Internasional, merupakan salah satu sasaran Kantor Pengacara Negara dengan Tim JPN yang khusus ahli kontrak Internasional. Apabila seluruh kontrak internasional mendapatkan pendampingan dari JPN, diharapkan dapat diantisipasi berbagai kemungkinan ‘permainan/kolusi’ dalam penyusunan kontrak, terdapat standarisasi menghindari kesalahan dalam contact drafting dan antisipasi resiko sengketa kontrak secara optimal.

- Pelayanan Hukum Gratis berkualitas, baik kepada masyarakat umum, swasta maupun BUMN / BUMD (tanpa Surat Kuasa), dimana JPN memberikan konsultasi hukum gratis sekaligus sosialiasi segala aspek teknis hukum formil maupun materiil, untuk membangun budaya hukum, menghindarkan anggota masyarakat dari resiko hukum, dan membantu anggota masyarakat agar terbebas dari biaya konsultasi hukum.

- Kekuatan JPN Dalam Pencegahan Resiko Hukum, dimana kekuatan (strengths) dari layanan JPN adalah pada keahlian mengantisipasi potensi resiko hukum pidana, perdata maupun administratif bagi pejabat/unit kerja yang memohon layanan, mengingat kekuatan jaksa adalah dalam litigasi yang menguasai seluruh yurisprudensi dan putusan peradilan serta arbitrase.

- Kepercayaan Stake-holder merupakan sasaran dominan yang menjadi bagian dari strategi utama untuk pencapaian sasaran-sasaran lain Kantor Pengacara Negara di masa mendatang, yang memerlukan upaya serius dan maksimal.

b. Aspek business process, berupa strategi utama yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam Aspek stake-holder , dapat digambarkan sebagai berikut :
Meliputi strategi utama sebagai berikut :

- Bantuan Hukum terbaik harus dibangun oleh setiap JPN agar terpenuhi sasaran ‘Bantuan Hukum Optimal Berkualitas’, sehingga seluruh JPN di seluruh Indonesia, dengan dukungan database, standarisasi dan supervisi melaksanakan proses liitigasi dan pra-litigasi sebaik mungkin baik untuk penanganan sengketa di peradilan perdata, TUN mapun Mahkamah Konstitusi.

- Legal Opinion dengan kualitas terbaik harus dibangun oleh setiap satuan kerja Datun di Pusat dan Dearah, dengan dukungan database, standarisasi dan supervisi, agar dapat mencapai sasaran ‘Legitimasi Legal Opinion JPN, yaitu Pendapat Hukum (Legal Opinion) yang dibuat oleh JPN harus obyektif, akurat dari aspek legal nya, lengkap berisi antisipasi resiko hukum baik perdata, Good Corporate Governance (Administratif) maupun pidana, sehingga dipastikan dapat mencegah potensi kerugian keuangan negara dan sifat melawan hukum (pidana maupun perdata).

- Pendampingan Hukum Profesional dan Pendampingan Hukum Berkelanjutan harus dilaksanakan oleh JPN secara sungguh-sungguh berintegritas dengan standarisasi kegiatan mempedomani pedoman dan petunjuk yang sudah diberikan oleh Jamdatun fokus pada upaya mensosialisasikan dan mengantisipasi potensi resiko hukum pidana, perdata maupun administratif bagi pejabat/unit kerja yang didampingi, agar dapat mencapai sasaran ‘Pendampingan Hukum aman dan efektif’ baik bagi pejabat yang didampingi maupun JPN yang melaksanakan kegiatan tersebut.

- Audit Hukum Obyektif akurat dari aspek legal nya, baik perdata, Good Corporate Governance (Administratif) maupun indikasi fraud (pidana), agar dapat mencapai sasaran ‘Audit Hukum berkualitas’.

- Legal Drafting berkualitas dengan mempedomani pedoman dan petunjuk dari Jamdatun, akan membantu pemohon terhindar dari kebatalan produk hukum yang dibuat saat dilakukan Uji Materiil ataupun gugatan TUN, sehingga dengan diakuinya kualitas JPN dalam Legal Drafting akan mendorong pencapaian sasaran ‘JPN Narasumber Legal Drafting bagi Pemerintah Daerah’.

- Pelaksanaan Penegakan Hukum Keperdataan atas kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, 33 dan 34 UU Nomor 31/1999 serta pasal 38B ayat (2) dan pasal 38C UU Nomor 20 Tahun 2001, perkara TPK yang diputuskan ‘lepas dari tuntutan hukum’, penyelesaian tunggakan eksekusi pembayaran uang pengganti, maupun penegakan hukum perdata yang lain termasuk pembubaran PT yang (telah atau dikhawatirkan) digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana.

- Adhyaksa Mediation Centre BLU yang dikelola profesional, Tim Mediator yang terpercaya, dan menghasilkan PNBP, dalam menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa antara swasta dengan BUMN maupun antara swasta dengan swasta, mengingat sebagian besar pihak menghindari sengketa di arbitrase maupun pengadilan namun memerlukan lembaga independen yang terpercaya.

- Satgas Arbitrase Internasional perlu dibentuk dan diikutkan pelatihan khusus Kontrak Internasional, sehingga dapat dilibatkan dalam Pendampingan Kontrak Internasional yang ditangani oleh Pemerintah maupun BUMN dan dapat membangun jaringan komunikasi intensif dengan Lembaga Arbitrase Internasional dan para Arbiter Internasional. Kepercayaan atas keahlian penanganan arbitrase internasional oleh Tim Khusus JPN harus dibangun, agar tercapai sasaran ‘JPN Menangani Seluruh Arbitrase Internasional’.

- Peningkatan kegiatan Pelayanan Hukum Gratis, baik kepada masyarakat umum, swasta maupun BUMN / BUMD (tanpa Surat Kuasa), untuk meingkatkan citra Kejaksaan di mata publik.

- Dalam mendukung strategi Kantor Pengacara Negara yang kuat dan profesional tersebut, perlu didukung oleh suatu Database dan sistem kerja berbasis teknologi informasi (CMS Datun), satgas-satgas spesialis Datun sesuai keahlian dan sertifikasi untuk penanganan Kontrak, Arbitrase, Kepailitan, Aksi Korporasi yang dapat membantu pemerintah dan BUMN sesuai dengan bidangnya masingmasing, didukung oleh sistem Supervisi dan Eksaminasi yang efektif.

c. Aspek Learning and Growth, berupa langkah-langkah prioritas dewasa ini yang perlu dilaksanakan untuk mencapai strategi utama yang ditetapkan dalam Aspek business process, dapat digambarkan sebagai berikut :
Meliputi strategi utama sebagai berikut :
- Untuk standarisasi produk dan kualitas, perlu dibangun database Datun yang berisi pedoman teknis, produk penanganan perkara (perdata, TUN dan arbitrase), yang dapat diakses terbatas untuk JPN Daerah, baik untuk kegiatan Bantuan Hukum, Pendapat Hukum, Legal Drafting, Penegakan Hukum perdata.

- Perlu disusun petunjuk teknis dan Pedoman Audit Hukum, mengingat perkembangan permintaan audit hukum.

- Perlu segera dibangun dan dioperasionalkan CMS Datun yang terintegrasi dengan Database Datun.

- Bagi penanganan Arbitrase dan Kontrak Internasional, perlu dibentuk Satgas Spesialis Arbitrase Internasional dengan jenjang karir spesialis Datun agar aset sumber daya manusia yang terbatas untuk bidang ini, dapat meniti karir sesuai keahliannya.

- Perlu dilaksanakan Diklat spesialis JPN dan Diklat Spesialis Kontrak Internasional, melalui perencanaan yang tepat dan konsisten, baik Diklat di dalam negeri maupun luar negeri.

- Bagi efektifitas pelaksanaan Supervisi maupun Eksaminasi, perlu dilakukan training teknis Datun bagi Tim Supervisi dan Eksaminasi dan dibangun mekanisme Supervisi Online bagi kegiatan Pendampingan Hukum, mengingat peran pentingnya dalam memantau dan membantu penanganan Tupoksi Datun di Daerah.

- Penguatan teknis ruang lingkup Pendampingan Hukum yang akan dilaksanakan baik terkait dengan pengadaan barang/jasa, pembangunan 12 infrastruktur dan aksi korporasi maka perlu diatur mekanisme dan pedoman dalam penyusunan Nota Pendapat Pendampingan Hukum.

- Perlu dilakukan studi kelayakan bagi pembentukan Adhyaksa Mediation Centre dalam menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa antara swasta dengan BUMN maupun antara swasta dengan swasta.
d. Aspek Financial, yaitu sumber dana (anggaran) yang dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan dan pelaksanaan langkah-langkah prioritas yang ditetapkan dalam Aspek Learning and Growth, antara lain dapat diidentifikasi yaitu dari :

- Anggaran (DIPA Datun) ,

- Hibah pembangunan Database dan

-  Bantuan training internasional dari lembaga / badan usaha secara tidak mengikat (Training bersama).

2. Bagaimanakah langkah Jaksa Pengacara Negara dalam Program Ekonomi Nasional ?

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Program PEN) adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional (vide Pasal 1 PP No.23 Tahun 2020), yang dilaksanakan melalui :
1. Penyertaan Modal Negara;
2. Penempatan Dana;
3. Investasi Pemerintah; dan/atau
4. Kegiatan Penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah (vide Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2020)
Selain keempat hal tersebut, Pemerintah juga dapat melakukan kebijakan melalui belanja negara, antara lain pemberian subsidi bunga kepada debitur perbankan, perusahaan pembiayaan, dan lembaga penyalur program kredit Pemerintah yang memenuhi persyaratan (vide Pasal 5 jo. Pasal 20 PP No.23 Tahun 2020).

Ad.1. Penyertaan Modal Negara
Berdasarkan ketentuan pasal 8 PP Nomor 23 Tahun 2020, disebutkan :
a. Untuk melaksanakan program PEN, pemerintah dapat melakukan PEN kepada BUMN dan/atau melalui BUMN yang ditunjuk.
b. PEN dilakukan untuk :
- Memperbaiki struktur permodalan BUMN dan/atau anak perusahaan BUMN yang terdampak pandemi Covid-19, dan/atau
- Meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan/atau anak perusahaan BUMN termasuk untuk melaksanakan penugasan khusus oleh Pemerintah dalam pelaksanaan Program PEN.

Berdasarkah poin 2 huruf b tersebut, dapat diketahui bahwa PMN diberikan kepada 2 kriteria BUMN, yakni :
1. BUMN yang struktur permodalannya terdampak Pandemi Covid-19
2. BUMN diberikan dalam rangka peningkatan kapasitas usaha BUMN dalam kerangka penugasan khusus oleh Pemerintah untuk melaksanakan program PEN.
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 7 PP Nomor 44 Tahun 2005 yang menyatakan : Penambahan penyertaan modal Negara ke dalam suatu BUMN dan Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dilakukan dalam rangka :
a. Memperbaiki struktur permodalan BUMN dan Perseroan Terbatas; dan/atau
b. Meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas.

Bagaimana menilai bahwa suatu BUMN terdampak Covid-19, tidak ditentukan dalam PP 23 Tahun 2020, oleh karena di dalam Pasal 9 hanya dinyatakan bahwa pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, maka pelaksanaannya mengacu kepada PP Nomor 44 Tahun 2005 dan PP Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas.

Meskipun tidak ditentukan kriteria BUMN yang terdampak Covid-19, namun hal tersebut cukup terjawab dengan ketentuan pasal 14 PP Nomor 44 Tahun 2005 yang menyatakan :

a. Penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan berdasarkan hasil kajian bersama dengan Menteri (dalam hal ini Menteri BUMN)
b. Penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri (Menteri BUMN) atau Menteri Teknis
c. Pengkajian bersama atas rencana penambahan Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri BUMN)
d. Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat pula mengikutsertakan Menteri Teknis dan/atau Menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu dan/atau menggunakan konsultan independen.

Melalui kajian bersama tersebut yang dilakukan bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri BUMN, dan/atau bersama Menteri Teknis atau Pimpinan Instansi lain dan/atau dengan melibatkan konsultan independen, ditentukan KRITERIA yang menjadi dasar untuk menyatakan suatu BUMN terganggu struktur permodalannya akibat dari Pandemi Covid-19. Sedianya, Kriteria tersebut haruslah ditetapkan terlebih dahulu di dalam kajian bersama para menteri terkait, baru ditetapkan BUMN mana yang memenuhi kriteria tersebut untuk diberikan tambahan Penyertaan Modal Negara.

Tidak saja kajian tersebut itu berisikan tentang kriteria BUMN yang terganggu struktur permodalannya akibat Pandemi Covid-19, namun dapat juga berisi kajian terkait peningkatan kapasitas usaha BUMN dalam kerangka penugasan khusus oleh Pemerintah untuk melaksanakan program PEN. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa BUMN yang rencana Penambahan Penyertaan Modal Negara nya bukan karena dampak Pandemi Covid-19 terhadap struktur permodalannya, melainkan karena diberikan penugasan khusus oleh Pemerintah untuk melaksanakan program PEN sehingga perlu ditingkatkan kapasitas usahanya

Ad. 2. Penempatan Dana
Penempatan Dana adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan menempatkan sejumlah dana pada bank umum tertentu dengan bunga tertentu (Pasal 1 angka 3 PP No.23 Tahun 2020). Dalam rangka pelaksanaan Program PEN, Pemerintah dapat melakukan Penempatan Dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja (Pasal 10 ayat 1).

Penempatan Dana dilakukan kepada Bank Peserta, yaitu bank yang menerima Penempatan Dana Pemerintah dan menyediakan dana penyangga likuiditas bagi Bank Pelaksana yang membutuhkan dana penyangga likuiditas setelah melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau tambahan kredit/pembiayaan bagi Bank Perkreditan Rakyat/Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja (Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 12).

Kriteria Bank Peserta (Pasal 10 ayat (3)) :
a. Merupakan bank urnum yang berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia, dan paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) saham dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. Merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK: dan
c. Termasuk dalam kategori 15 (lima belas) bank beraset terbesar. 15 Bank Peserta ditetapkan oleh Menteri berdasarkan informasi Ketua Dewan Komisioner OJK. Fungsi Bank Peserta adalah menyediakan ‘Dana Penyangga Likuiditas bagi Bank Pelaksana yang membutuhkan dana setelah melakukan :
1. Restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja; dan/atau
2. Tambahan kredit/pembiayaan bagi Bank Perkreditan Rakyat/Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja (Pasal 11 ayat (1)).
Bank Peserta memberikan Dana Penyangga Likuiditas kepada Bank Pelaksana apabila Bank Pelaksana:
a. Merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK; dan
b. Memiliki SBN, Sertifikat Deposito Bank lndonesia, Sertifikat Bank Indonesia, Sukuk Bank Indonesia, dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang belum direpokan tidak lebih dari 60.6% (enam persen) dari dana pihak ketiga.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (2), Bank Peserta dapat bertindak pula sebagai Bank Pelaksana untuk menerima dana penyangga likuiditas dari Penempatan Dana Pemerintah. Dalam hal Bank Peserta mengalami permasalahan hingga diserahkan kepada LPS, maka LPS mengutamakan pengembalian dana Pemerintah (Pasal 12). Ketentuan mengenai tata cara pemberian informasi pemenuhan kriteria sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Ketua Dewan Komisioner OJK, sedangkan ketentuan mengenai tata cara Penempatan Dana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (“PMK”).

Sesuai fungsinya sebagai peraturan pelaksana, PMK 64/2020 mengatur hal yang sifatnya teknis dan prosedural, yaitu tata cara penempatan dana. PMK 64/2020 ini dipayungi oleh 2 (dua) lapis instrumen hukum yaitu PP 23/2020 dan UU 2/2020. Secara umum, apabila ditemukan norma pada jenjang PMK yang tidak bersesuaian dengan norma pada peraturan perundang-undangan yang lain, hal tersebut telah diantisipasi terlebih dahulu dengan pengesampingan (derogasi) melalui Pasal 28 UU 2/2020.

Mencermati legitimasi kebijakan Pemerintah dalam penanganan penyebaran COVID – 19 dan/atau antisipasi atas ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan saat terjadi Pandemi COVID – 19 melalui format UU 2/2020, maka derogasi tersebut sah dan berkekuatan hukum mengikat. Akan tetapi apabila ditinjau berdasarkan norma pembentukan peraturan perundang-undangan, terdapat ketidaksesuaian baik secara formil maupun materiil. Penempatan Dana melalui Bank Peserta kepada Bank Pelaksana dengan skema sebagaimana diatur dalam PP 23/2020 jo. PMK 64/2020 akan terlihat menjadi ambigu, mengingat pada satu sisi organ Pemerintah terlibat di dalam prosesnya, namun di sisi lain penyaluran dana diikat dalam perjanjian antara Bank Peserta dan Bank Pelaksana sehingga mengesankan ini adalah hubungan business to business.

Ad.3. Investasi Pemerintah
Investasi Pemerintah sebagai salah satu Program PEN adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalarn jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Ketentuan terkait Investasi Pemerintah ini tidak diatur di dalam PP No.23 Tahun 2020 dan menyerahkan pengaturannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut adalah PP No.63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah. Namun demikian, setelah diterbitkan PP No.43 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP No.23 Tahun 2020, ketentuan pasal 15 diubah dan disisipkan 2 pasal setelah pasal 15, yakni Pasal 15A dan 15B yang mengatur sebagai berikut: Pasal 15 ayat (2) Investasi Pemerintah dalam rangka pelaksanaan Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa investasi langsung dalam bentuk :
a. pemberian pinjaman kepada BUMN;
b. pemberian pinjaman kepada lembaga; dan/atau
c. Pinjaman PEN Daerah.

Ketentuan Pasal 15B menjelaskan bahwa Investasi Pemerintah berupa Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan :
a. Pinjaman PEN Daerah diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero);
b. dapat berupa pinjaman program dan/atau pinjaman kegiatan; dan
c. diberikan dengan suku bunga tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.

Untuk memperoleh Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat mengajukan permohonan kepada Menteri dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri, dengan memenuhi persyaratan paling sedikit :
a. Merupakan daerah yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19);
b. Memiliki program pemulihan ekonomi daerah yang mendukung Program PEN;
c. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah Pinjaman PEN Daerah tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk tahun sebelumnya; dan
d. Memenuhi nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan Pinjaman PEN Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Ad.4. Kegiatan Penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan. Menurut ketentuan Pasal 17 PP No.43 Tahun 2020 Penjaminan dapat dilakukan secara langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui badan usaha Penjaminan yang ditunjuk. Dalam Program PEN ini, Pemerintah dapat menugaskan ;
1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan/atau
2. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero).
Bahwa Pelaksanaan Penjaminan langsung oleh Pemerintah melalui badan usaha dilakukan berdasarkan keputusan Menteri, yang dalam hal ini Pemerintah dapat menugaskan PT Jaminan Kredit Indonesia, PT Asuransi Kredit Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan/atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) untuk melakukan Penjaminan. Penjaminan sebagaimana dimaksud di atas diberikan kepada Pelaku Usaha dalam bentuk Penjaminan atas kredit modal kerja yang diberikan oleh perbankan. Dalam hal PT Jaminan Kredit Indonesia, PT Asuransi Kredit Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan/atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) membutuhkan peningkatan kapasitas Penjaminan untuk melaksanakan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat memberikan PMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas Penjaminan sebagaimana dimaksud di atas, Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pembayaran imbal jasa Penjaminan, Penjaminan balik, Ioss limit, atau dukungan pembagian risiko lainnya yang dibutuhkan.

Ad.5. Pemberian Subsidi Bunga kepada Debitur Perbankan, Perusahaan Pembiayaan dan Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah.

Program PEN melalui belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak terbatas pada pemberian subsidi bunga kepada debitur perbankan, perusahaan pembiayaan, dan lembaga penyalur program kredit Pemerintah yang memenuhi persyaratan dan/atau jaring pengaman sosial termasuk Bantuan Sosial dan Bantuan Pemerintah. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (2) PP No.43 Tahun 2020, Debitur perbankan dan perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan paling sedikit :
a. Merupakan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, Koperasi, dan/atau debitur lainnya, dengan plafon kredit paling tinggi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. Tidak termasuk Daftar Hitam Nasional;
c. Memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2); dan
d. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau mendaftar untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

3. Bagaimanakah pendampingan Program Pemulihan Ekonomi Nasional di Daerah ?
1. Tujuan Pendampingan Hukum
a. Membantu antisipasi risiko hukum dalam pengambilan keputusan (Perdata, Pidana dan Administrasi)
b. Membantu Antisipasi Risiko Hukum dan Legal Drafting (Uji Materiil dan TUN)
c. Membantu Antisipasi Risiko Hukum dalam Pendistribusian dana Bantuan (Perdata dan Pidana)
d. Pencegahan Resiko Hukum Dalam Penggunaan Dana Bantuan (Perdata Dan Pidana)
e. Membantu Antisipasi Resiko Hukum Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa (Perdata Dan Pidana) 19
f. Pencegahan Resiko Hukum Dalam Pengelolaan Dana Desa (Perdata Dan Pidana)
g. Mewakili Dalam Sengketa Perdata Dan Tata Usaha Negara.

2. Alternatif Pendampingan Jaksa Pengacara Negara dalam Program PEN
a. Sosialisasi resiko hukum pidana dan perdata bagi pelaku usaha mikro dan UMKM;
b. Sosialisasi resiko hukum pidana (khususnya TPK serta TP Perbankan) dan perdata bagi petugas pelaksana penyaluran kredit, termasuk pejabat bank dan petugas yang memproses dan mengambil keputusan dalam analisis kredit, verifikasi data dan agunan.
c. Pendampingan konsultasi hukum (apabila diminta) dalam tahap verifikasi data dan agunan, tanpa mencampuri kewenangan pengambilan keputusan.
d. Pendampingan dalam kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan penyaluran kredit dengan subsidi bunga dan pencegahan korupsi.
e. Sosialisasi dan pemberian saran pencegahan korupsi penyalahgunaan kredit subsidi tidak sesuai ketentuan dan peruntukannya.
f. Bantuan hukum litigasi dan non litigasi dalam penyelesaian kredit bermasalah.

3. Batasan Pendampingan Hukum.
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : 025/A/JA/11/2015 memberikan batasan Pendampingan Hukum bagi JPN sebagai berikut :
a. Bahwa Jaksa Pengacara Negara bertindak selaku penasehat hukum yang tidak memiliki otorisasi untuk memutuskan suatu tindakan serta tidak masuk dalam organisasi pekerjaan.
b. Jaksa Pengacara Negara melaksanakan Pendampingan Hukum secara Yuridis Normatif, tanpa melakukan analisa secara teknis.
c. Jaksa Pengacara Negara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap tindakan materiel yang dilakukan oleh Pemohon
d. Jaksa Pengacara Negara secara aktif memberikan Pendapat Hukum tertulis baik diminta maupun tidak diminta oleh Pemohon secara bertahap maupun insidentil berkaitan dengan permasalahan hukum yang timbul selama proses Pendampingan Hukum.
e. Jaksa Pengacara Negara memberikan pendapat hukum secara insidentil yang disampaikan secara lisan sebagai penasehat hukum dan harus ditindaklanjuti secara tertulis dalam bentuk Pendapat Hukum.
f. Pendampingan Hukum dilakukan secara bertahap dari tahap awal hingga akhir suatu kegiatan atau Pendampingan Hukum dilakukan secara parsial terhadap suatu tahapan kegiatan.
Jaksa Pengacara Negara melakukan analisa terhadap keselarasan rangkaian Pendapat Hukum yang telah disampaikan sebagai satu kesatuan kesimpulan dalam bentuk Laporan Akhir Pendampingan Hukum. Pelaksanaan Pendampingan Hukum oleh JPN di daerah terkait erat dengan beberapa program berikut :
? Program Investasi Pemerintah dalam bentuk Pinjaman PEN Daerah yang pelaksanaannya mengacu pada PP No.23 Tahun 2020 yang diubah dengan PP No.43 Tahun 2020 dan PMK No.105/PMK.07/2020 Tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah,
? Pemberian subsidi bunga kepada debitur perbankan, perusahaan pembiayaan, dan lembaga penyalur program kredit Pemerintah yang memenuhi persyaratan; dan/atau
? Jaring pengaman sosial (social safety net) termasuk bantuan sosial dan bantuan Pemerintah.

4. Titik Rawan Penyimpangan dan Penyalahgunaan Kewenangan.
Dalam pelaksanaan Pendampingan Hukum, JPN harus cermat dalam menilai potensi dan titik rawan penyimpangan dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara. Ada 2 (dua) hal minimal yang perlu mendapat atensi khusus dalam penilaian terhadap potensi penyimpangan pada Program PEN tersebut di atas, yakni :
a. Salah sasaran subjek penerima bantuan/program
b. Menyimpang dalam pelaksanaan

Di dalam Program Investasi Pemerintah dalam bentuk Pinjaman PEN Daerah, maka yang perlu diperhatikan oleh JPN adalah apakah daerah yang menerima Pinjaman PEN telah sesuai dengan syarat yang ditentukan atau tidak. Pasal 4 PMK PMK No.105/PMK.07/2020 menyatakan bahwa untuk mengajukan permohonan PEN Daerah dan/atau pinjaman daerah yang diberikan oleh PT. SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung program PEN, Pemerintah Daerah harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut :
a. Merupakan Daerah terdampak pandemi Covid-19 (perlu adanya dokumen terkait penilaian dampak ini)
b. Memiliki program dan/atau kegiatan pemulihan ekonomi daerah yang mendukung Program PEN
c. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
d. Memenuhi nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah paling sedikit sebesar 2,5.

Kriteria Penerima dan Besaran Subsidi Bunga/Subsidi Margin diatur dalam Pasal 8 PMK No.65/PMK.05/2020 Pemberian Subsidi harus memenuhi :
1. Memiliki Baki Debet Kredit/Pembiayaan sampai dengan 29 Februari 2020;
2. Tidak termasuk dalam Daftar Hitam Nasional;
3. Memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2) dihitung per 29 Februari 2020;dan
4. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau mendaftar untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Dalam hal Debitur memiliki plafon Kredit/ Pembiayaan kumulatif di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) harus memperoleh restrukturisasi dari Penyalur Kredit/Pembiayaan. Debitur yang memiliki plafon Kredit/Pembiayaan kumulatif melebihi Rpl0.000:000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak dapat memperoleh Subsidi Bunga/ Subsidi Margin.

Persyaratan untuk menjadi penerima bantuan jaring pengaman dalam bentuk bantuan sosial dan bantuan pemerintah yang diatur di dalam peraturan kepala daerah, harus pula diperhatikan oleh JPN dalam melakukan pendampingan hukum. Kesalahan terhadap subjek penerima merupakan hal yang mengarah pada tindak pidana korupsi, sebagaimana tercermin dalam putusan Mahkamah Agung, antara lain :
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1512 K/Pid.Sus/2016 atas nama Terdakwa Feriyanto Mayulu, S.I.Kom, MH tanggal 31 Juli 2017 “ Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Wakil Walikota Gorontalo yang memproses proposal fiktif dan dananya dipergunakan oleh Terdakwa sendiri dan orang lain yang tidak berhak menerimanya dan mengakibatkan kerugian keuangan negara adalah merupakan tindak pidana korupsi”
2. Putusan MA RI No.702 K/Pid.Sus/2011 tanggal 12 Mei 2011 an. Terdakwa Dr. Abdi W. Buchari, SE, M.Si “Bahwa terdakwa sebagai wakil walikota sekaligus Plt. Walikota Manado pada TA 2009 sejak bulan Februari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009, berdasar hasil audit akhir masa jabatan Plt. Walikota Manado oleh Inspektora Provinsi Sulawesi Utara menemukan adanya pencairan dana belanja bantuan sosial melalui penerbitan SP2D dengan dokumen SPP-LS dan SMP-LS tanpa dilampirkan dokumen lain seperti proposal dan surat permohonan yang tidak jelas peruntukannya…”

Selain faktor subjek penerima, penggunaan dana bantuan dan pelaksanaan program atau subsidi juga penting untuk diperhatikan, karena berdampak pada tindak pidana korupsi, sebagaimana tercermin dalam putusan Mahkamah Agung berikut: 22 Putusan MA RI No.169 / Pid.Sus-TPK/2015 “Menimbang bahwa karena penggunaan dana hibah yang diterima oleh terdakwa tidak sesuai dengan NPDH yang telah ditandatanganinya, maka terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya selaku Ketua Forum Pemuda Seni Sunda untuk menguntungkan diri sendiri.


Penulis: Kamin, SH. MH
Editor:


TAGS:


comments