Oleh: Amor Seta Gilang Pratama *)
JUMAT malam 26 Februari 2021, di Taman Budaya Jambi berlangsung pertunjukan tari yang berjudul Awareness. Karya tari dari Tri Putra Mahardhika atau akrab disapa Dhika Kekoq ini dipertunjukan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Namun demikian, kondisi tersebut tidak menyurutkan apresiasi penonton. Mereka hadir berbondong-bondong dan memenuhi tempat pertunjukan yang telah diberi tanda pembatas. Terlihat seluruh penonton juga menggunakan masker.
Dhika Kekoq merupakan alumni jurusan tari Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Saat ini ia sedang menempuh studi S-2 di Institut Seni Indonesia Surakarta. Lelaki yang berdomisili di Jambi ini, pengalaman berkeseniannya sudah cukup mumpuni. Ia kerap mengikuti event seni baik di nasional maupun internasional seperti Jerman, Polandia, Malaysia, dan Singapura.
Sekitar pukul 20:15 WIB lampu panggung padam, tanda dimulainya pertunjukan. Tak lama setelah itu, terdengar suara vokal para penari, yang ternyata sedari tadi duduk di posisi penonton. Perlahan-lahan para penari yang berjumlah 7 orang (5 perempuan dan 2 laki-laki) mulai memasuki panggung dari tiga sisi, sembari mengeluarkan melodi vokal secara bersama-sama.
Setelah memasuki panggung yang berlantai putih, sesaat mereka hanya berdiri dan diam, tanpa ada iringan musik. Perlahan-lahan terdengar bunyi seperti detik jam yang bermetrum. Penaripun mulai bergerak, mereka melakukan tepukan tangan yang berpola. Setelah itu, bunyi bermetrum tadi beralih sedikit lebih noise.
Deskripsi di atas merupakan penggalan dari karya tari Awareness. Dalam karya ini, Dhika mencoba mengangkat konsep tentang kesadaran dan koneksi sosial. Ia melihat pada dasarnya manusia harus sadar akan koneksi antar manusia. Manusia tidak dapat hidup secara individu, namun memerlukan orang lain untuk keberlangsungan hidup.
Dalam karya ini, cukup tampak gerak yang dikomposisi menggambarkan konsep yang diusung. Pada beberapa bagian misalnya, terlihat beberapa penari mengangkat penari lain secara bergantian, dan memindahkan posisinya. Selanjutnya, pada bagian akhir, terlihat masing-masing penari menggunakan properti semacam selang berukuran 1 meter. Selang tersebut sebelumnya di putar-putar dan selanjutnya dikaitkan hingga membentuk simpul. Dari segi blocking juga terlihat, Dhika banyak mengumpulkan para penarinya pada satu sisi panggung. Jika dicermati, hal-hal ini merupakan wujud dari manifestasi konsep.
Konsep Dhika ini sangat lekat dengan kehidupan sosial. Saya melihat, melalui karya ini Dhika ingin menunjukan pada masyarakat khususnya penonton, untuk dapat lebih memahami arti kesadaran dan keterhubungan satu sama lain. Konsep ini cukup klise, namun masih relevan hingga saat ini.
Karya ini menjadi menarik jika dikontekskan dengan kondisi pandemi saat ini. Semua manusia di muka bumi, dihadapkan dengan wabah yang tak kunjung usai. Kesadaran akan bahayanya wabah Covid-19, menjadikan manusia bersinergi untuk mengatasinya, baik dari tingkat nasional hingga internasional. Pada situasi ini, kita semua merasa dalam kondisi yang sama, dan saling membutuhkan. Keegoisan individu akan membawa petaka bagi orang lain.
Kondisi pandemi juga memutuskan koneksi-koneksi sosial. Salah satu yang terkena imbasnya adalah aspek ekonomi. Banyak dari masyarakat yang tidak bisa mencari nafkah akibat dari pembatasan aktivitas sosial, dan pada akhirnya terputus koneksi bisnis. Tak sedikit pula yang merasa stress hingga putar haluan untuk menghasilkan income. Kondisi ini pada akhirnya juga menciptakan kesadaran serta koneksi sosial yang baru. Tujuannya adalah untuk tetap dapat bertahan hidup.
Kondisi pandemi ini pun sementara menghapuskan sifat individualisme. Walaupun pada kenyataannya tiap-tiap manusia dibatasi aktivitasnya agar meminimalisir kontak sosial, namun justru hal tersebut sebenarnya adalah untuk tujuan bersama, yaitu kesehatan dan keselamatan. Pada situasi ini, manusia tidak diperbolehkan untuk mementingkan diri pribadi, karena dapat menjadi ancaman bagi orang lain.
Sadar atau tidak, karya tari Awareness cukup tepat dipertunjukan pada saat pandemi. Pada satu sisi, penonton rindu pertunjukan di atas panggung agar tetap dapat terkoneksi dengan penikmatan estetis secara langsung. Karena banyak seni pertunjukan yang beralih ke virtual. Pada sisi lainnya, karya ini juga dapat menyadarkan bahwa untuk menghadapi pandemi, kita semua harus bersinergi hingga pandemi berakhir.
Saya melihat sebenarnya Dhika dapat untuk lebih kritis mengeksplorasi konsep tarinya. Karena perihal kesadaran dan koneksi ini, jika dikaitkan dengan keadaan sekarang cukup kompleks. Media sosial misalnya, kita dengan sadar menggunakannya sebagai cara menunjukan ekspresi dan eksistensi. Tetapi kesadaran tersebut pada akhirnya membawa kita pada kesadaran palsu. Kehidupan di dunia maya, menjadi lebih prioritas dibandingkan kehidupan nyata.
Melalui media sosial, kita juga dapat terkoneksi dengan siapapun, bahkan dengan orang yang tidak kita kenal. Kita dapat mengikuti kehidupan hingga privasinya melalui media sosial. Hal ini juga menimbulkan koneksi-koneksi baru yang bersifat semu. Beberapa fenomena ini mungkin bisa memberi tawaran terhadap konsepnya.
Komposisi tari yang ditampilkan juga minim ekspresi, cenderung monoton dan berulang-ulang. Musik latarnya dibeberapa bagian juga terkesan menganggu, karena pemilihan komposisi bunyi yang cenderung noise dengan desibel yang tinggi. Mungkin karya ini masih berupa embrio, dan ke depannya akan lebih eksploratif dan kritis. Namun demikian, bagaimanapun juga karya tari Awereness ini merupakan pemantik untuk melihat kembali pentingnya kesadaran dan keterhubungan antar manusia.
*) Dosen Sendratasik Universitas Jambi