JAMBI – Kejaksaan Agung, Rabu (2/6) malam, menahan pengusaha batubara asal Jambi, Matlawan Hasibuan, dalam kasus korupsi pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) batubara di Kabupaten Sarolangun. Komisaris PT Tamarona Mas Internasional (TMI) itu ditahan bersama tiga tersangka lainnya.
“Dilakukan penahanan untuk waktu 20 hari terhitung 2-21 Juni 2021,” ujar Kapuspenkum Kejagung L Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan persnya, Rabu (2/6). Dari enam tersangka, baru empat orang yang ditahan.
Selain Matlawan, tersangka lainnya yang ditahan adalah Alwinsyah Lubis/AL (direktur PT Antam Tbk periode 2008-2013), HW (direktur operasional PT Antam Tbk), dan Bachtiar Manggalutung/BM (direktur utama PT Indonesia Coal Resources/ICR periode 2008-2014).
Bachtiar ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan Alwinsyah, HW, dan Matlawan ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Menurut Eben Ezer, dua tersangka yang belum hadir adalah Ady Taufik Yudisia alias ATY (direktur operasional PT ICR dan Muhamad Toba/MT (direktur PT Citra Tobalindo Sukses Perkasa/CTSP dan PT Riang Gemilang Surya Reteh/RGSR).
“Pemeriksaan kepada yang bersangkutan akan dilanjutkan pada minggu depan," tegasnya.
Kapuspenkum menjelaskan, Bachtiar selaku direktur utama PT ICR periode 2008-2014 mengakuisisi PT TMI yang memegang IUP batubara di Kecamatan Mandiangin, Sarolangun. Setelah mendapat hasil laporan site visite, pada 2010 dia bertemu Muhamad Toba selaku penjual (kontraktor batubara).
Diketahui, PT TMI memiliki kerja sama dalam usaha pertambangan batubara dengan PT CTSP dan PT RGSR milik Muhamad Toba. Saat itu, ditentukan harga pembelian Rp 92,5 miliar walau belum dilakukan due dilligence. Luas lahannya 400 hektar.
Karena PT ICR tidak memiliki dana, komisaris utamanya meminta penambahan modal kepada PT Antam selaku induk PT ICR sebesar Rp 150 miliar. Setelah dilakukan kajian internal oleh PT Antam yang dikoordinir HW, disetujui penambahan modal ke PT ICR sebesar Rp 121,97 miliar.
Menariknya, karena PT Antam tidak melakukan kajian internal secara komprhensif, ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No 32 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT TMI tanggal 22 Desember 2010 diduga fiktif.
Sebab, pada lahan 201 hektare IUP-nya diketahui masih dalam status eksplorasi. Due dilligence pada lahan 199 hektare yang memiliki IUP operasi produksi (OP) hanya dilakukan terhadap 30 hektare saja. Karena itu disimpulkan kajian internalnya tidak komprehensif.
BM dan ATY tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batubara yang menjadi objek akuisisi. Namun akuisi alias jual beli berlanjut.
Setelah dilakukan perjanjian jual beli saham pada 12 Januari 2011, Matlawan mendapat pembayaran Rp 35 miliar. Sedangkan MT mendapatkan pembayaran Rp 56,5 miliar.
“Perbuatan BM bersama-sama dengan ATY, AA, HW, MH, dan MT merugikan keuangan negara sebesar Rp 92,5 miliar,” ujar Eben Ezer.
Para tersangka akan dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Penanganan perkara ini merupakan program prioritas Jaksa Agung tentang penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Informasi yang didapat Metro Jambi, sejumlah pihak telah diperiksa dalam kasus ini, termasuk Bupati Sarolangun Cek Endra.
Pengacara Matlawan, Ihsan Hasibuan, terkejut dengan penahanannya kliennya. “Tidak ada yang ngasih tahu. Biasanya kalau diperiksa, saya dikasih tahu. Ini tidak tidak. Jadi, saya memang tidak tahu,” ujar Ihsan yang dihubungi Metro Jambi, tadi malam.