Rabu, 29 Maret 2023

Protokol Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Masa Pandemi

Jumat, 01 Januari 2021 | 15:19:32 WIB


/

 Oleh: Amri Ikhsan *)

KETIDAKEFEKTIFAN PJJ menjadi alasan utama pembukaan sekolah di awal tahun 2021. PJJ dengan metode pembelajaran daring dengan segala kelebihan dan keterbatasannya (Jawa pos) belum dipercaya publik sebagai platform pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.

“Lost Generation” atau generasi yang hilang (Kemdikbud) merupakan alasan berikutnya kenapa PTM harus dilaksanan. Adanya ketimpangan gadget, Internet, kuota membuat sebagaian siswa tidak memiliki akses mengikuti PJJ. Generasi ini  mengalami kebingungan, kehilangan arah, pegangan, dan tidak tahu hendak berbuat apa (Jawa pos), membuat anak putus sekolah, kekerasan rumah tangga, sampai pernikahan dini.

Selanjutnya, penutupan sekolah karena pandemi membuat anak-anak sudah terlalu lama tak berinteraksi dengan teman-teman maupun guru, sehingga terancam stres dan mengalami berbagai kendala tumbuh kembang. (VIVA)

Maka, pada 20 November 2020, Kemendikbud bersama Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Pembelajaran Semester Genap pada Tahun Ajaran Baru dan Tahun Akademi Baru 2020/2021 di masa pandemi.

Berdasarkan peraturan yang berlaku mulai Januari 2021 tersebut, pemerintah daerah diberi wewenang menentukan kebijakan model pembelajaran sesuai kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing. Sebelumnya izin pembelajaran tatap muka di sekolah ditetapkan berdasarkan zona risiko Covid-19

Oleh karena itu, PTM di masa pandemi, sekolah/madrasah (S/M) akan memulai ‘kehidupan baru’ yang selama ini pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan memanfaat teknologi, kini harus dialihkan dengan PTM secara terbatas. Tentu ini memerlukan pendekatan khusus agar PTM berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Perlu disusun protokol PTM agar stakeholder tumbuh kepercayaan diri terhadap proses ini. PTM di masa pandemic adalah pembelajaran ‘dalam tekanan’, penuh dengan ketidaknyaman dan kehati-hatian. Kalau sekolah salah pendekatam bisa saja menjadi ‘boomerang’ bagi siswa.

Pertama, jangan dulu ‘tancap gas’ memberikan materi pembelajaran dengan materi-materi yang selama ini mungkin sudah lama tidak tersampaikan dengan baik. Memang sebagian besar guru sudah lama tidak ‘ceramah’ di dalam kelas, jangan manfaatkan úji coba’ PTM ini membuat guru begitu semangat untuk ‘menatar’ siswanya.

Jangan langsung buru-buru langsung mengajar materi langsung ke konten, tapi harus terlebih dahulu memperhatikan kondisi psikososial peserta didik. Bina kondisi sosial emosional anak, siapkan mental anak yang sudah lama tidak belajar secara fisik. Dipastikan betul juga para siswa memahami dan patuh protokol kesehatan.

Kedua, hindari menyampaikan ‘dosa dosa’ siswa selama PJJ. Bisa dipastikan, guru memiliki segudang ‘çatatan tidak mengenak’ (tidak mengisi absen, tidak kumpul tugas atau tidak ada khabar sama sekalai) selama PJJ, sudah ‘tidak tahan lagi’ untuk ’menceramahi’ siswa atau menghukum siswa siswa tersebut.

Tahan dulu, guru harus banyak bersabar. Guru harus berpikiran positif. Anak itu tidak mengisi absen, tidak kirim tugas, harus dimaklumi, mungkin terkendala HP, sinyal internet, kuota yang terbatas, harus bekerja membantu orang tua. Bisa dipastikan bahwa naluri anak itu selalu ingin belajar.

Ketiga, para guru harus adaptif, guru yang menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi siswa, jangan sebaliknya, siswa ‘dipaksa’ mengikuti kemauan guru. Siswa dating ke sekolah pasti dengan membawa pemahaman yang berbeda beda dan itu normal. Disamping guru harus adaptif, guru harus menerapkan, strategi diferensiasi adalah praktik dimana guru menyampaikan pembelajaran dengan penyesuaian pada kesiapan, minat, dan gaya belajar siswa. (Tomlinson, 1995).

Keempat, kaji dan cermati pengurangan Kompetensi Dasar yang dilakukan Kemendikbud. Pilah mana KD yang hanya bisa diajarkan melalui PTM, jangan semua KD di-PTM-kan, bosan siswa. Disini guru berpikir dan merekayasa pembelajaran. Kalau memang ada KD yang bisa PJJ, lakukan itu, demi keselamatan dan kesehatan siswa.

Kelima, kalau psikososial dan emosional siswa sudah stabil, maka guru boleh memulai pemberian materi dengan  mengutamakan pendekatan pembelajaran lebih fleksibel, terbuka, dan efektif dengan menjunjung tinggi pembelajaran bermakna.

Pembelajaran ini berbasis  tanpa membebani siswa, tanpa tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan dengan mengajak para peserta didik untuk lebih penasaran terhadap pelajaran yang diberikan dan mendorong keingintahuan yang tinggi yang dikaitkan dengan kondisi yang ada di sekitar anak saat ini secara kontekstual,

Keenam, kombinasikan luring dan daring atau blended-learning, mengondisikan guru dan siswa mempertimbangkan karakteristik teknologi digital yang fleksibilitas untuk menyesuaikan kebutuhan belajarnya, memungkinkan kemudahan akses dan fleksibilitas siswa dan guru dalam belajar, mengubah cara individu dalam belajar dan memaknai aktivitas belajar. (Republika).

Ketujuh, pastikan pembelajaran memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan berguna bagi siswa. Ciptakan situasi belajar yang menumbuhkan interaksi dan komunikasi santun dalam pembelajaran. Ini penting dilakukan agar siswa ‘betah’ mengikuti proses pembelajaran dalam kelas.

Santun yang membuat betah bisa dilihat dari tuturan guru dalam berkomunikasi dengan siswa: 1) meminimal menggunakan tutusan yang membuat siswa tidak nyaman (sejak PJJ, kamu kelihatan bodoh), tuturan harus menguntungkan siswa (bagus, saya suka itu); 2) kalau bisa tuturan guru merugikan dirinya (Baik, Bapak/ibu akan jelaskan lagi atau jangan khawatir, Bapak/ibu akan tulis ulang dipapan tulis).

Kemudian, 3) menghormati apapun kinerja siswa, jangan pernah meremehkan karya siswa (Yang penting sudah kumpul tugas, walaupun tidak bagus); 4) jangan pakai tuturan yang berpotensi menunjukkan kesombongan (Itu saja tidak bisa, sudahlah kamu memang tidak belajar), tapi harus merendahkan hati (walaupun baru dijelaskan sedikit, kamu sudah mengerti)

Selanjutnya, 5) selalu berusaha mencari kecocokan dan menghindari ketidakcocokan (apa yang kamu kata itu, Bapak/ibu setuju atau Apa yang kamu kerjakan sudah sesuai dengan haparan Bapak/Ibu; dan 6) selalu bersimpati dengan kondisi siswa dengan berpikiran positif. Kalau ada siswa yang belum mampu, pasti ada kendala yang dihadapi (diadopsi dari Leech)

Jangan sampai PTM, guru menjelaskan, membuat siswa tambah tidak mengerti atau tambah bingung. PTM di masa pandemi bukan perintah yang menggugurkan kewajiban, tapi PTM itu untuk masa depan bangsa.


*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah


Penulis: Amri Ikhsan
Editor: Ikbal Ferdiyal


TAGS:


comments